SMRC: Sistem Proporsional Tertutup Berpotensi Besar Turunkan Tingkat Partisipasi Publik

By Redaksi - Monday, 12 June 2023
Ilustrasi Pemilu 2024. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi Pemilu 2024. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Direktur Riset Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Deni Irvani menyebut jika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan sistem pemilihan umum proporsional terbuka dan mengubahnya menjadi sistem proporsional tertutup, partisipasi publik dalam mengikuti pemilihan umum akan berkurang drastis.

Demikian disampaikan Deni saat merepresentasikan survei SMRC bertajuk "Sikap Publik Terhadap Gugatan Sistem Pemilu" yang digelar pada 30-31 Mei 2023 melalui telepon. Hasil survei ini ditayangkan di kanal YouTube SMRC TV pada Senin, 12 Juni 2023.

Deni menunjukkan jika pemilu 2024 nanti dilakukan dengan sistem pemilihan tertutup, hanya 58 persen warga yang menyatakan akan ikut memilih.

Sementara yang menyatakan tidak akan ikut memilih sebesar 36 persen. Masih ada 6 persen yang tidak menjawab.

Ia menjelaskan bahwa 58 persen warga yang akan ikut memilih dalam sistem pemilihan tertutup ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat partisipasi dalam pemilu 2019 dengan sistem proporsional terbuka yang mencapai 82 persen.

"Sistem proporsional tertutup berpotensi besar menurunkan tingkat partisipasi publik dalam pemilihan umum," ucapnya.

Pemilihan sampel dalam survei ini dilakukan melalui metode random digit dialing (RDD). RDD adalah teknik memilih sampel melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.

Survei terakhir dilakukan pada 30-31 Mei 2023 dengan sampel sebanyak 909 responden dipilih melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.

Margin of error survei diperkirakan ±3.3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, asumsi simple random sampling. Wawancara dengan responden dilakukan lewat telepon oleh pewawancara yang dilatih.

Deni menjelaskan bahwa "pemilih kritis" adalah pemilih yang punya akses ke sumber-sumber informasi sosial-politik secara lebih baik karena mereka memiliki telepon seluler sehingga bisa mengakses internet untuk mengetahui dan bersikap terhadap berita-berita sosial-politik.

Mereka umumnya adalah pemilih kelas menengah bawah ke kelas atas, lebih berpendidikan, dan cenderung tinggal di perkotaan.

Mereka juga cenderung lebih bisa memengaruhi opini kelompok pemilih di bawahnya. Total pemilih kritis ini secara nasional diperkirakan 80 persen.[]