11 Persen Pemilih Rentan Terpengaruh Politik Uang, SMRC: Itu yang Buat Pemilu Mahal

By Redaksi - Saturday, 23 December 2023
Ilustrasi Politik Uang. (Foto: Istimewa)
Ilustrasi Politik Uang. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada November 2023 mencatat sebanyak 44 persen warga menganggap politik uang adalah hal wajar.

Dari 44 persen itu, hanya 26 persen yang rentan terpengaruh oleh pemberian uang atau hadiah atau hanya 11 persen dari total populasi pemilih nasional.

Hasil itu disampaikan melalui program 'Bedah Politik bersama Saiful Mujani' episode "Potensi Politik Uang di Pemilu 2024", Kamis, 21 Desember 2023.

Prof. Saiful Mujani menjelaskan bahwa dari 204 juta pemilih, hampir 100 juta menganggap politik uang sebagai sesuatu yang lumrah, bukan masalah besar, atau bukan sesuatu yang tabu.

Dia berpandangan, mungkin sebenarnya masyarakat tahu bahwa politik uang adalah hal yang ilegal dan melanggar hukum.

Namun jika hukum itu tidak mudah ditegakkan, orang akan mencari celah untuk menyiasati aturan tersebut.

Karena sudah biasa, lanjut dia, akhirnya ada 44 persen warga yang menganggap bahwa menerima uang dari orang yang berharap dipilih adalah wajar.

"Mungkin itu pengalaman atau diskursus yang sudah berkembang di masyarakat bahwa politik uang itu hal yang wajar. Dan 44 persen ini adalah angka nasional. Kalau di-breakdown, variasinya sangat tinggi antara satu daerah dengan daerah yang lain," tutur pendiri SMRC tersebut.

Dia menjelaskan, dari 44 persen publik yang menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar, hanya 26 persen yang kemungkinan terpengaruh.

Dari total populasi pemilih, hanya sekitar 11 persen yang akan terpengaruh politik uang.

"Hanya 11 persen orang akan terpengaruh atau akan memilih karena dikasih uang. Artinya hanya 1 dari 10 kasus. Kalau Anda ingin efektif dalam memberikan uang dan berharap orang yang menerimanya akan memilih Anda sebagai calon, maka peluangnya adalah hanya 1 dari 10. Masalahnya adalah di mana orang yang 1 dari 10 warga itu?" katanya.

Oleh sebab itu, lanjutnya, tidak akan mudah menjadikan politik uang itu efektif dan efisien.

Ia menduga kenapa politik uang banyak dibicarakan karena tidak diketahui secara persis siapa dan berada di mana orang yang bisa dipengaruhi oleh politik uang tersebut.

Akibatnya, para pelaku politik uang akan menghamburkan uangnya.

"Itu yang membuat Pemilu mahal. Karena untuk mendapatkan 1 suara efektif karena politik uang, Anda harus memberi 10. Ada 44 persen memang yang toleran, tidak mempersoalkan halal dan haramnya, tidak memperhatikan hukum, tidak memperhatikan rasa malu, kalau dikasih, ya dikasih saja. Tapi mereka belum tentu memilih. Yang memilih, dari 10 kasus, hanya 1," ujarnya.

Karena sulitnya melacak 11 persen orang tersebut, maka para politisi pelaku politik uang menjadi seperti spekulan.

Dia melanjutkan bahwa mayoritas warga yang menoleransi politik uang atau menganggap politik uang sebagai sebagai sesuatu yang wajar tidak memilih berdasarkan pemberian uang.

"Kebanyakan mereka mengambil uangnya, tapi tidak memilih berdasarkan pemberian uang," katanya.

Lebih lanjut, Saiful menunjukkan adanya variasi tingkat kerentanan pengaruh politik uang terutama menurut wilayah desa-kota, pendidikan dan pendapatan.

Dari aspek wilayah, orang yang tinggal di perdesaan lebih rentan dibanding yang di perkotaan. Total ada sekitar 14 persen dari populasi pemilih di pedesaan (31 persen dari 45 persen yang toleran) yang rentan terpengaruh politik uang, sementara di perkotaan hanya 9 persen (22 persen dari 42 persen).

Demikian pula dengan aspek pendidikan, yang berpendidikan rendah lebih rentan dibanding yang berpendidikan tinggi.

Sekitar 15 persen warga berpendidikan SD atau lebih rendah rentan terpengaruh politik uang (33 persen dari 45 persen), sementara pada yang berpendidikan perguruan tinggi ada 8 persen (28 persen dari 30 persen).

Pada aspek pendapatan, yang berpendapatan rendah lebih rentan.

Yang berpendapatan di bawah 1 juta rupiah per bulan atau lebih rendah, sekitar 15 persen (35 persen dari 43 persen) rentan terpengaruh politik uang, sementara pada yang berpendapatan 2 juta ke atas 9 persen (22 persen dari 42 persen).

Lantas dia menyimpulkan bahwa profil yang mau dan terpengaruh politik uang adalah cenderung tinggal di perdesaan, pendidikan rendah, dan pendapatan yang juga lebih rendah.

Karena itu, sambungnya, untuk mencegah terjadinya praktik politik uang, lembaga pemantau atau pengawas Pemilu bisa lebih fokus pada kelompok-kelompok tersebut.

"Untuk mencegah praktik politik uang atau menekan supaya politik uang tidak gila-gilaan seperti itu, Bawaslu, pengawas, dan aparat fokus ke sana. Jagain orang desa, yang berpendidikan rendah, dan berpendapatan kecil, supaya mereka tidak menjadi korban politik uang," ucap Saiful Mujani.[]