Penyakit DBD Harus Diwaspadai di Tengah Pandemi Covid-19

By Redaksi - Friday, 07 May 2021
Foto
Foto

Virus Covid-19 yang melanda dunia membuat persoalan besar bagi masing-masing negara, termasuk dengan Negara Indonesia. Mengingat korban dari virus ini terus meningkat, baik meninggal dan yang terpapar sakit telah menyita perhatian pemerintah.

Beragam langkah dilakukan guna memutus rantai sebaran Covid-19, sehingga anggaran pemerintah difokuskan untuk pengendaliannya. Hal itu berimplikasi pada penanganan berbagai penyakit endemis lainnya seperti DBD, Malaria, TBC, dan sebagainya.

Sebelum Covid-19, kasus DBD (Demam Berdarah Dengue) terus-menerus meningkat. Namun satu tahun terakhir ini datanya tidak terpublikasikan secara terperinci karena segala daya sedang fokus menangani Covid-19. Walau demikian pemerintah Indonesia khususnya pemerintahan di Sumatera Utara harus tetap waspada terhadap penyakit DBD.

Sebagaimana diketahui, DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang dibawa oleh nyamuk Aedes Albopictus dan Aedes Aegypti menginfeksi atau menularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Masa inkubasi DBD ini terjadi selama 5-10 hari. Penyakit tular vektor ini dapat ditemukan di iklim subtropis dan tropis seperti di daerah perkotaan dan pedesaan.

Skala global, angka yang terpapar penyakit DBD hampir ratusan juta orang. Seperti di Indonesia DBD merupakan masalah kesehatan yang jumlah penderitanya semakin meningkat dan penyebarannya semakin luas. Penyakit vektor ini muncul setiap tahun dan dapat menyerang siapa saja, baik dari segi usia, CT tubuh, bahkan tempat tinggal. Provinsi Sumatera Utara memiliki iklim tropis dan dua musim yaitu musim kemarau dan hujan. Penyakit demam berdarah sering terjadi saat musim hujan.

Fokusnya dalam menangani Covid-19 membuat penyakit tular vektor tetap mengintai masyarakat. Terlebih atas banyaknya gedung-gedung yang ditutup. Diyakini di sana menjadi sarang nyamuk mulai toilet maupun bak kamar mandi yang tidak dibersihkan. Genangan air tanpa ada pencegahan atau pemantauan. Segala kegiatan untuk penanganan penyakit apa pun terhenti akibat harus kerja dari rumah yaitu kebijakan yang diberikan pemerintah WFH atau PSBB. Hal ini membuat penanganan kasus DBD belum sepenuhnya berhasil.

Berdasarkan data yang diperoleh, tercatat kasus DBD di Provinsi Sumatera Utara di tahun 2016 CFR atau angka kematian di dapat 0,695%. Kemudian di tahun 2017 sebanyak 5.454 kasus dangan angka kesakitan 39,6 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2018 penderita DBD terus naik, dimana angkanya mencapai 5.713 orang. Munculnnya penyakit tular vektor ini terjadi akibat faktor lingkungan dan perilaku manusia, dimana masyarakat tidak menerapkan hidup sehat dan bersih.

Dalam menangani kasus DBD di Sumatera Utara, campur tangan dari pemerintah, dinas kesehatan, dinas kebersihan, media massa dan terlebih dari masyarakat itu sendiri sangat menentukan keberhasilan. Penanganan masalah ini dapat dilakukan melalui program pengendalian vektor yang dilakukan secara terpadu yaitu melalui edukasi. Program pengendalian DBD secara terpadu ini dilakukan untuk membantu pencegahan atau penanganan DBD dengan semuanya terlibat sehingga dapat dengan cepat menurunkan kasus DBD.

Edukasi dapat dilaksanakan ke daerah rawan seperti Medan, Pematangsiantar, dan sebagainya. Di daerah rawan ini tentunya perlu memberantas sarang nyamuk dengan 3M plus. Warga pun perlu menggunakan kelambu dan selimut ketika tidur. Kemudian, dalam mengedukasi masyarakat perlu ditekankan soal pemamfaatan barang bekas. 

Barang bekas memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk, menghindari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, menggunakan pakaian baik baju yang berlengan panjang dan celana panjang, melakukan pemantauan jentik rutin, mengganti air pada vas bunga dan tempat burung yang ada dirumah, dan membersihkan pekarangan rumah.

Lewat edukasi ini pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai pengendalian terhadap kasus DBD dapat meningkat. Tentunya masyarakat akan lebih waspada terhadap ancaman DBD setelah memakni pola hidup baik yaitunmencegah lebih baik dari pada mengobati dan belum tentu diobati memberikan hasil yang baik.

Selain mengedukasi masyarakat, upaya pengendalian atau pencegahan penyakit tular vektor ini dapat dilakukan dengan menajemen lingkungan, biologi, dan kimia. Untuk manajemen lingkungan dapat dilakukan mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah, membersihkan selokan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk, memangkas daun-daun pohon apabila terlalu rimbun, menanam tanaman pengusir nyamuk contoh lavender, peningkatan kualitas supply air dan penyimpanannya, melakukan pengelolaan sampah, serta memodifikasi benda yang memungkinkan terbentuknya genangan air.

Untuk biologi dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan spesies predator larva seperti ikan pemakan jentik nyamuk contohnya ikan nila, ikan mujair, dan sebagainya. Mengekstrak tanaman yang menimbulkan bau yang tidak disukai oleh nyamuk Aedes Aegypti seperti akar wangi (vertiver zizanoides), menggunakan bakteri Bt H-14 (Bacillus thuringiensis H-14). 

Sedangkan upaya pengendalian atau pencegahan kimia sendiri dapat dilakukan dengan cara menaburkan bubuk larvasida atau abate 1 % SG pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan untuk pemberantasan larva nyamuk, menggunakan obat nyamuk, melakukan fogging pada setiap lingkungan tempat tinggal, serta menggunakan lotion seperti autan, lavenda, soffel, dsb.

Untuk itu mari ciptakan lingkungan sehat dan bersih dalam mencegah atau mengendalikan virus yang membantai kesehatan tubuh mu. Karena seperti yang dikatakan bahwa kebersihan merupakan sebagian dari IMAN. Karena apabila lingkungan kita sehat dan bersih maka akan terlihat indah untuk dipandang dan tidak menimbulkan berbagai penyakit.


Artikel di atas ditulis oleh Stevi Verayanti Siahaan, Mahasiswa Fakultas Bioteknologi Prodi Biologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta

Kategori