Warga Motung Harapkan BPODT Tak Melahirkan Masalah

By Redaksi - Wednesday, 27 January 2021

Toba, Kabarnas.com - Saat ini pembangunan di kawasan Danau Toba oleh Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) sudah berlangsung meski telah melahirkan berbagai permasalahan bagi masyarakat sekitar khususnya di daerah Desa Pardomuan Motung dan Motung Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba.

Salah satu permasalahan yang timbul adalah adanya gugatan warga terkait munculnya Sertifikat Pengelolaan (HPL) yang dimiliki BPODT.

Selain itu masalah pembayaran dampak sosial terhadap tumbuhan yang ada di areal yang di klaim BPODT miliknya, masih belum jelas karena adanya keberatan warga yang meminta untuk tidak dibayarkan.

Menyikapi permasalahan yang ada Tim Terpadu bersama BPODT dan Polres Toba melaksanakan rapat di Aula Kantor Bupati Toba, Rabu (26/1) siang yang dihadiri oleh Sekda Toba selaku Ketua Tim Terpadu, perwakilan Polres Toba, Perwakilan BPODT dan perwakilan masyarakat Desa Pardomuan Motung dan Desa Motung Kecamatan Ajibata.

Sekda Toba Audi Murphy Sitorus mengatakan bahwa tanah seluas 107 ha yang berada di kawasan otorita merupakan tanah negara."Jadi sesuai dengan identifikasi dari Kementerian Kehutanan bahwa lahan itu adalah kawasan hutan yang diserahkan pengelolaannya kepada BPODT," jelasnya.

Namun ia tidak menepis adanya persoalan antara warga dan pemerintah, yang sama-sama mengakui kepemilikan sesuai versi masing-masing. "Tetapi menurut pemerintah lahan itu adalah milik negara,"ujarnya.

Terkait sengketa yang saat ini masih proses di pengadilan, sekda mengatakan bahwa proses yang akan direncanakan tim terpadu tetap berjalan.

"Biarlah proses yang terjadi di pengadilan tetap berproses. Nanti kalau pengadilan menyatakan lain dari apa yang dikerjakan timdu sudah pasti yang dikerjakan timdu batal sehingga pemeriksaan atas perkara ini di pengadilan tidak menghalangi timdu untuk melaksanakan progres diatas lahan tersebut,"ujarnya.

Ketika ditanya andaikan BPODT nantinya kalah dipersidangan, sementara kegiatan sudah menghabiskan anggaran yang banyak, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah baru dan bagaimana pertanggungjawabannya serta siapa yang bertanggung jawab nantinya. Menjawab itu, sekda mengatakan tidak masalah dan yang bertanggung jawab nantinya adalah SPJ.

Sementara perwakilan keturunan Ompu Buntulan Manurung yakni Parlindungan Manurung kepada wartawan mengatakan bahwa lahan 107 hektar bukan lahan masyarakat umum dan tidak ada istilah yang mengatakan tanah adat.

"Itu adalah tanah pribadi atas keputusan Mahkamah Agung (MA) jelas. Riwayatnya pernah sengketa di sana dua pihak hubungan marga ya sampai sekarang. Dan pada tingkat MA 15 Pebruari 1996 telah diputuskan dan ada sekali PK yakni 15 April 1999 mereka kalah jadi kami pemenang," jelasnya.

Parlindungan menambahkan sebelum tanah seluas 107 ha dikelolah, warga sudah pernah memberitahukan pada pihak ketua otarita di tahun 2018. "Dan pihak otorita, waktu Pak Situngkir selaku direktur keuangan mengakui bahwa kamilah pemilik lahan 107 hektar tersebut," ucapnya.

"Jadi tanah 107 hektar itu milik negara, kami tidak percaya. Itu tidak sesuai prosedur. Pertimbangan Menteri Pertanahan itu prosedur. Karena disitu sebenarnya Surat Keputusan MA sudah ada bagi para pihak," katanya.

Pada kesempatan itu, warga mengaku bahwa mereka sangat mendukung program pemerintah dalam membangun Motung tanpa merampas hak masyarakat.

"Artinya kalau datang ke kami, mereka harus mendahulukan moral dan mundur selangkah. Kami duluan mendukung pemerintah membangun peradaban di Motung dan tanah itu milik nenek moyang kami untuk peradaban manusia yang ada sekarang. Kedepan bangunlah Motung itu. Masalah yang lain kita bicarakan," tegasnya

"Jadi jika ada orang mengatas namakan raja bius, itu adalah orang yang kalah perkara dengan kami. Oleh karena itu karena saat ini tanah masih sengketa diharapakan janganlah sampai menimbulkan perkara baru dengan kehadiran BPODT karena menurut saya itu adalah bias.Jadi selesaikan dulu masalah supaya tidak merugikan negara nantinya,"pungkasnya.

Kategori