Opini: Stop Narasi Kriminalisasi dan Dizalimi

By Redaksi - Friday, 19 May 2023
Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate. (Foto: Dok. Kejagung)
Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate. (Foto: Dok. Kejagung)

*Oleh: Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)

Beberapa saat setelah Johnny Gerard Plate (JGP), Menkominfo RI, sekaligus Sekjend DPP Partai NasDem, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi BAKTI Kominfo. Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh langsung bereaksi dengan menyinggung intervensi politik dan kekuasaan.

Surya Paloh menyinggung hukum alam jika benar penetapan tersangka terhadap JGP tersebut tidak terlepas dari intervensi politik dan kekuasaan. Namun, SP menyatakan bahwa NasDem tetap menghormati segala proses hukum terhadap JGP.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menjelaskan, penetapan tersangka dan penahanan kepada JGP yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) harus dipahami bukan hanya sesuai hukum, tetapi keharusan hukum. Kasus tersebut sudah cukup lama digarap oleh Kejaksaan dengan sangat hati-hati.

Mahfud menjelaskan bahwa kasus tersebut sudah diselidiki dan disidik dengan cermat karena selalu beririsan dengan tudingan politisasi. Menurutnya, jika keliru sedikit saja, bisa dituduh politisasi hukum di tahun politik. "Kalau tidak yakin dengan minimal dua alat bukti yang cukup, Kejagung tidak akan menjadikan siapa pun sebagai tersangka".

"Akan tetapi, jika sudah ada dua alat bukti yang cukup kuat dan masih ditunda-tunda dengan alasan untuk menjaga kondusivitas politik, maka itu bertentangan dengan hukum. Sebab, jika sudah cukup dua alat bukti, memang sudah seharusnya status hukumnya ditingkatkan," tutur Mahfud. 

Pasca kasus JGP ini, publik kemudian disuguhi narasi "kriminalisasi". Narasi khas politisi setiap kali terjerat kasus korupsi. Muncul juga narasi bahwa kasus ini berhubungan dengan sikap NasDem yang mendukung Capres antitesa Jokowi, yakni Anies Rasyid Baswedan (ARB). Kata "kriminalisasi dan dizalimi" akan dilekatkan pada kasus ini demi mendapat simpati publik.

Sejak kader NasDem diganti dari jaksa agung, Surya sudah mulai menunjukkan sikap "berbeda" kepada Jokowi. Terutama setelah diketahui bahwa jaksa agung, ST Burhanuddin adalah adik kandung dari politisi PDIP, TB Hasanuddin. Padahal ST Burhanuddin sendiri bukan anggota maupun kader PDIP.

ST Burhanuddin yang pernah menjadi Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) pada 2011-2014 dituding tidak mewakili profesional hanya karena adik dari TB Hasanuddin. NasDem pun akhirnya perang dingin dengan PDIP yang dianggap mengambil "jatah" jaksa agung.

Jika ada tudingan kriminalisasi NasDem kepada Kejagung akibat kasus korupsi yang menjerat JGP, maka semua kasus korupsi yang menjerat seluruh politisi selama HM Prasetyo, politisi NasDem sebagai jaksa agung pun harus disebut kriminalisasi. 

Sehingga ketika banyak pihak menduga bahwa NasDem memeroleh peningkatan suara yang signifikan di Pemilu 2019, itu karena sejumlah kepala daerah yang diduga sedang diselidiki Kejagung di "NasDem" kan, ternyata benar.

Tudingan terhadap Kejagung yang dilontarkan NasDem menjadi bukti bahwa Kejagung dapat digunakan untuk kepentingan politik jika jaksa agungnya kader partai. Akibatnya Kejagung akan mengalami degradasi nilai. Hukum akan kehilangan kewibawaan akibat politisi selalu mengaitkan kasus pidana dengan politik.

NasDem memikul beban berat atas peristiwa ini. Sebab sebagai partai baru tentu tidak mudah bagi NasDem menerima kenyataan bahwa dua (2) kali sekjend nya, yakni Patrice Rio Capella dan JGP tersangkut kasus korupsi. Untuk membantu NasDem menghadapi badai besar ini, sebaiknya posisi Sekjend DPP Partai Nasdem diserahkan kepada ARB. Menjadikan ARB sebagai Sekjend DPP NasDem akan memudahkan koordinasi antar partai dalam memutuskan Cawapres dari koalisi perubahan dan persatuan.[]