Bergejolak di Siantar, Ini Asal-usul Warisan Rp 70 Miliar yang Jadi Rebutan Keluarga Ambarita

By Redaksi - Friday, 03 November 2023
Kuasa hukum Eryta Ambarita, Poltak Silitonga. (Foto: Opsi/Fernandho Pasaribu)
Kuasa hukum Eryta Ambarita, Poltak Silitonga. (Foto: Opsi/Fernandho Pasaribu)

Siantar - Perkara harta warisan senilai Rp 70 milyar memasuki babak baru. Ada temuan dugaan pemalsuan akta nikah antara Bitner Ambarita dan Rita Sitorus.

Dugaan pemalsuan akta nikah itu diungkapkan oleh kuasa hukum Eryta Ambarita, Poltak Silitonga. Ia mengaku melakukan investigasi ihwal pernikahan Bitner dan Rita.

Sebelum mengungkap akta nikah yang diduga palsu tersebut, Eryta melalui Poltak terlebih dahulu mengisahkan bagaimana Bitner, ayah Eryta, bisa memiliki hubungan dengan Rita.

Poltak bercerita, pada tahun 1972, Bitner Ambarita menikah dengan Kartini Sirait di Perdagangan, Kabupaten Simalungun. Keduanya mulai merintis usaha dengan berjualan sayur dan ikan asin.

"Dengan kegigihan mereka berdua, ada harta sedikit demi sedikit," kata Poltak, dalam konferensi pers, Kamis, 2 November 2023.

Ia mengungkapkan, dari hasil pernikahan Bitner dan Kartini, lahir Eryta Ambarita, pada tahun 1975.

"Bitner dan Kartini terus bekerja siang dan malam. Hingga pada tahun 1990, mereka memiliki harta yang banyak," ujarnya.

Saat itu, Bitner dan Kartini sudah memiliki harta yang banyak. Lantas, mereka mempekerjakan seorang asisten rumah tangga.

"Dipekerjakanlah Safrida Sitorus sebagai pembantu. Safrida Sitorus merupakan kakak kandung dari Rita Sitorus," tuturnya.

Keberadaan Safrida di rumah tangga Bitner dan Kartini membuat mereka semakin kompak. Hingga, L boru Hutagaol, ibu dari Safrida dan Rita, meminjam uang kepada Bitner karena kesulitan ekonomi.

"Saya tidak tahu jumlah uang yang dipinjam saat itu," tukas Poltak.

Namun tiba-tiba, muncul persoalan. Safrida diduga mencuri uang di rumah Bitner. Oleh sebab itu, Kartini marah dan memecat Safrida.

"Saat itu, hutang belum dibayar. Kartini bilang ke L boru Hutagaol agar tetap membayar hutang," ucapnya.

Lebih lanjut, Poltak menjelaskan, pada tahun 1994, L boru Hutagaol menelepon Bitner dan menyuruh untuk datang ke rumahnya untuk membicarakan utang tersebut. Bitner pun datang bersama Liston Pardede, keponakannya.

Setiba di rumah L boru Hutagaol, mereka disuguhkan makanan.

"Ada napinadar, arsik, namargota. Awalnya, Liston tidak mau makan. Tapi karena Bitner sudah merasa lapar, jadi mereka makan makanan itu," katanya.

Usai menyantap makanan itu, L boru Hutagaol menyampaikan kepada Bitner bahwa dia sudah tidak sanggup lagi membayar utang tersebut.

"L boru Hutagaol pun menyuruh Bitner untuk membawa borunya (anak perempuannya), yakni Rita Sitorus. Bitner pun tidak menolak," ujarnya.

Dari rumah L boru Hutagaol, Bitner tidak membawa Rita ke rumahnya. Bitner membawa Rita ke salah satu rumah yang ada di kawasan Kebun Mayang miliknya.

"Di Mayang, ada 100 hektare kebunnya," tutur Poltak.

Awalnya, tidak ada masalah. Hingga akhirnya, Kartini mulai curiga karena Bitner jarang pulang ke rumah. Kartini pun mulai menyelidiki sang suami.

"Tak berapa lama, Kartini mengetahui jika sudah terjadi kumpul kebo di kebun, antara Bitner dan Kartini. Kartini memergoki mereka berdua di kebun itu. Karena ketahuan, Bitner dan Rita lari. Sementara, Kartini yang marah membakar semua gubuk dan menghancurkan mobil yang ada di kebun itu," paparnya.

Akibat permasalahan tersebut, Bitner tidak berani pulang ke rumah. Dia pergi bersama Rita. Lalu, pada tahun 1996, Johannes Ambarita lahir. Johannes merupakan anak pertama dari Bitner dan Rita.

"Setelah itu, Bitner tiba-tiba datang menemui Kartini. Bitner meminta agar mereka memberikan uang Rp 50 juta ke Rita agar Rita pergi dan anaknya (Johannes) bersama mereka. Kartini tidak mau karena sudah tersakiti," ucapnya.

Pada tahun 1997, Kartini menggugat cerai Bitner karena tidak mau dimadu. Setelah itu, seluruh harta dikuasai Bitner dan Rita.

"Lalu, Kartini hidup apa adanya bersama Eryta," tukasnya.

Kemudian, pada tahun 2008, Kartini menggugat harta gana-gini. Hasilnya NO atau gugatan tidak dapat diterima.

"Beberapa kali menggugat, Kartini selalu kalah. Hingga akhirnya, Kartini mengetahui jik Bitner memalsukan sertifikat rumah. Pemalsuan itu diadukan Kartini ke Polda. Bitner pun ditangkap," katanya.

Setelah ditangkap, Bitner menghubungi Eryta dan meminta untuk berdamai. Bitner berjanji akan memberikan sebagian hartanya kepada Kartini dan Eryta.

"Saat itu, Bitner memberikan 5 objek dari 31 objek hartanya dan uang Rp 250 juta," ujarnya.

Poltak menuturkan, karena tidak punya daya untuk melawan, Kartini pun menyetujui pemberian Bitner tersebut. Pemberian 5 objek itu ditentukan di akta van dading 26.

"Dalam akta itu, disebutkan juga nama Eryta. Jadi, kalau Kartini menikah lagi, hartanya tetap kepada Eryta," katanya.

Lalu, pada tahun 2011, Bitner meninggal dunia. Sebelum meninggal, Bitner mengidap penyakit gagal ginjal.

"Saat Bitner sakit, Rita pergi bersama laki-laki lain bernama Acuan," tuturnya.

Ketika sakit, Bitner juga sempat memanggil Eryta untuk menandatangani surat.

"Waktu itu, Eryta melihat bapaknya sudah tergeletak sakit parah. Bitner memohon kepada Eryta supaya menandatangani surat dari Rita. Karena Eryta sayang dan ingin umur bapaknya panjang, dia pun menandatanganinya sambil menangis," ujarnya.

"Eryta tak sempat membaca isi surat itu. Dan ternyata, surat yang dikonsep Rita itu berisi pernyataan tidak akan menuntut harta bapaknya," kata Poltak menambahkan.

Bahkan, tak berapa lama setelah Bitner meninggal dunia, Rita mengubah sertifikat menjadi nama keempat anaknya.

"Saat itu, keempat anaknya masih di bawah umur. Sesuai Undang-Undang, yang memiliki sertifikat harus punya KTP. Kalau masih di bawah umur, harus ada penetapan perwalian dari pengadilan. Ini tidak ada. Ini pemalsuan," pungkasnya.

Dan pada tahun 2018, Eryta melalui Poltak pun menggugat seluruh harta tersebut. Dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Pematang Siantar Nomor 51/Pdt.G/2018/PN Pms, gugatan Eryta dikabulkan.

"Sampai ke MA (Mahkamah Agung), gugatan kami menang. Jadi, sesuai putusan itu, 30 objek harta senilai Rp 70 milyar itu merupakan milik Eryta. Seluruh harta itu tersebar di Siantar, Simalungun, Toba, Batubara dan Jambi," jelasnya.

Dalam persidangan tersebut, lanjut Poltak, Rita Sitorus sempat membawa akta nikahnya dengan Bitner.

“Jadi, kami sudah selidiki akta nikah itu. Akta itu diduga tidak sah dan direkayasa. Akta nikah itu juga sudah kita gugat,” kata Poltak.

Poltak pun membeberkan beberapa kejanggalan dalam akta nikah tersebut. Pertama, dalam akta itu tertulis bahwa Bitner dan Rita menikah pada Rabu 25 Mei 1995.

“Faktanya, kalau kita lihat di kalender, tanggal 25 Mei 1995 itu hari Kamis,” terang Poltak.

Kedua, dalam akta itu terdapat beberapa bekas tipe-x (penghapus cair kertas). Dan ketiga, tidak ada foto gandeng antara Bitner dan Rita di akta tersebut.

"Kami juga sudah pergi ke gereja yang tertulis di akta itu, yakni Gereja Bethel Indonesia di Simpang Dolok, Kabupaten Batubara. Kami sudah bertanya ke masyarakat sekitar dan istri pendeta. Mereka bilang tidak ada pernikahan antara Bitner dan Rita di gereja itu pada tanggal 25 Mei 1995," paparnya.

Ia menegaskan, Pdt Parningotan Sihombing selaku Ketua Wilayah Gereja Bethel Indonesia Wilayah Asahan dan Labuhan Batu sudah mengeluarkan surat yang menyatakan akta nikah tersebut tidak berlaku atau direkayasa.

"Akta nikah itu juga tidak sah karena Bitner dan Kartini belum bercerai pada tahun 1995. Mereka bercerai pada 1997. Gereja Bethel Indonesia tidak bisa memberkati jika masih punya istri yang sah," kata dia.

Poltak menambahkan, sebelumnya, pihaknya sudah menawarkan seluruh harta tersebut dibagi dua lewat jalur perdamaian atau mediasi di PN Siantar. Namun, pihak Rita Sitorus menolaknya.

"Permintaan mereka, harta itu tidak ada untuk Eryta. Mereka ngotot mau semua harta itu. Padahal, kalau mereka mau bagi dua, kami akan cabut semua laporan dan ibunya (Rita) tidak akan masuk penjara. Tapi, mereka lebih memilih ibunya masuk penjara," ucap Poltak.

Sebagaimana diketahui, saat ini, Rita Sitorus mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Pematang Siantar atas dugaan tindak pidana penggelapan.[]