Sejauh Mana Kita Mengenal Omnibus Law?

By Redaksi - Monday, 09 November 2020

Kabar Omnibus Law Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang diberitakan berbagai media telah menarik perhatian masyarakat Indonesia hingga berujung dengan aksi unjuk rasa. Namun Omnibus Law yang telah resmi ditandatangani Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo turut menuai pro dan kontra.

Sebenarnya Omnibus Law ini bukan issu baru, karena Jokowi telah memaparkannya dalam visi dan misinya saat mencalonkan di Pilpres 2019 dan diawal Jokowi dilantik jadi Presiden. Alasan melahirkan Omnibus Law adalah untuk merampingkan dan menyederhanakan peraturan perundang-undangan agar lebih tepat sasaran.

Sebagaimana diketahui, Omnibus Law merupakan produk hukum yang berupaya membuat suatu undang-undang yang dapat mencabut atau mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Namun saat hendak disahkan oleh DPR RI pada tanggal 5 Oktober 2020 kemarin, malah sebagian dari dewan menolak.

Bagi yang pro terhadap Omnibus Law, memiliki pemahaman bahwa aturan baru itu justru memberikan peluang menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kemampuan daya saing ekonomi secara global. Keyakinan ini dilandasi dengan adanya kemudahan regulasi dalam mengurus ijin usaha tanpa merusak lingkungan. Omnibus Law dianggap sangat berpeluang besar mengubah iklim investasi, yang membuat pemodal tergoda menanamkan modal usahanya di Indonesia.

Dilihat dari tujuannya, memang tidak ada yang salah dari kebijakan pemerintah tersebut. Namun, jika dilihat dari isi UU, pemerintah semestinya memperhatikan berbagai substansi dari pengaturan, seperti terkait kewenangan dalam konteks otonomi daerah, etika dan daya dukung lingkungan hidup, hak-hak buruh, dan lain-lain yang disoroti oleh berbagai pihak dalam mengkaji RUU Omnibus Law ini.

Ragam alasan sejak awal munculnya rancangan UU ini mengundang kritik dari kalangan masyarakat. Pemerintah yang seharusnya mendengarkan suara rakyat, sejauh mana hal itu telah dilakukan dan diakomodasi? Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan bahwa masukannya tidak diakomodir oleh DPR.

Pengurus KSPI sendiri menyampaikan pernyataan bahwa masukan mereka tidak diakomodir oleh DPR dalam UU tersebut. Lebih parahnya, sebelum dan setelah Omnibus Law disahkan, bukti draft asli tidak dapat diakses publik, sehingga ada kesan bahwa Omnibus Law tidak berpihak kepada masyarakat Indonesia.

Mengacu teori koorientasi (Grunig & Hunt, 1984) semestinya pemerintah dan DPR mengetahui bahwa stakeholders dari UU ini juga harus diakomodir dan diyakinkan sehingga terbentuk pengertian antara pihak pembuat UU dan publik. Komunikasi atau koorientasi dapat tercipta jika adanya perspektif antara publik dan pemerintah terhadap isu UU Cipta Kerja.

Koorientasi dapat terwujud jika terdapat akurasi yang jelas, kongruensi dan agreement. Dengan mengetahui situasi koorientasi tentu dapat menghindari demonstrasi. Jika memang draft UU tersebut tidak merugikan para buruh, maka jauh hari seharusnya dapat dibuat komunikasi yang lebih terbuka dengan stakeholders.

Kesempatan itu juga dapat dilakukan untuk membedah pasal demi pasal yang dianggap bermasalah. Dengan begitu bisa dihindari apa yang dikatakan pemerintah bahwa masyarakat termakan hoaks dalam UU Cipta Kerja ini, karena semua transparan dan akuntabel.

Pemerintah menjelaskan bahwa Omnibus Law bertujuan untuk memperbaiki atau menstabilkan kembali ekonomi Indonesia yang saat ini sedang mengalami penurunan. Namun sebagian masyarakat tidak menerimanya khususnya para buruh karena menganggap bahwa Omnibus Law ini tidak adil bagi mereka.

Perbedaan pendapat serta perbedaan pengertian setiap orang tentang Omnibus Law ini membuat keadaan semakin memanas. Menurut banyak orang, kebijakan Omnibus Law hanya menguntungkan para pengusaha dan merugikan bagi para buruh.

Adapun beberapa alasan resistensi terhadap RUU Omnibus Law antara lain : (1) Aturan-aturan yang ditetapkan membuat kaum buruh semakin miskin. (2) Kaum buruh menilai pembuatan Omnibus Law memiliki masalah dalam sistem hukum di Indonesia. (3) Proses perumusan dinilai dilakukan dengan tergesa-gesa, tertutup, dan tanpa ada upaya mendengarkan pendapat publik.

Dikutip dari pernyataan mantan hakim konstitusi Maria Farida, menyebut Omnibus Law tidak lazim diterapkan di negara yang menganut sistem hukum sipil seperti Indonesia. Faktor-faktor inilah yang menimbulkan penolakan terhadap Omnibus Law, walau sejak awal bisa saja diterima apabila dilakukan beberapa strategi untuk menyampaikan kepada publik terkait kebijakan yang hendak diterapkan.

Menurut Kotter & Schlesinger (1979) ada 6 strategi yang bisa diterapkan untuk mengatasi resistensi. Salah satu strateginya adalah Pendidikan dan Komunikasi. Pendidikan merupakan hal sangat penting ketika menanggapi situasi Omnibus Law saat ini agar bisa mengerti maksud dan tujuan dari kebijakan-kebijakan yang hendak diterapkan. Dan Komunikasi juga termasuk hal yang sangat penting karena tanpa adanya komunikasi akan menimbulkan kesalahpahaman antara kedua pihak.

Komunikasi seharusnya dilakukan antar pemerintah serta publik (masyarakat) agar pemerintah mengetahui apa yang menjadi keluhan dan impian masyarakat selama ini dan pemerintah juga hendak memberikan beberapa pengertian agar masyarakat dapat mengerti maksud kebijakan tersebut. Sehingga kebijakan-kebijakan yang diterapkan dapat dimengerti dan diterima masyarakat begitu juga masyarakat bisa memahami tujuan dan maksud dari pemerintah. Dengan demikian Omnibus Law mungkin bisa diterima.

Analisis ini ditulis oleh :

Febby Alvanda Rangga (31180207)

Stevi Verayanti Siahaan (31180265)

Wulan Sari Sinaga (31180258)

Mahasiswa Fakultas Bioteknologi

Universitas Kristen Duta Wacana

Berita Lainnya

    Loading...