*Oleh: Emrus Sihombing, Komunikolog Indonesia
Beberapa pekan terakhir ini, wacana publik tercurah pada agenda politik pemasangan calon presiden-wakil presiden untuk Pemilu 2024. Terkait pemasangan tersebut, ada sementara orang tertentu menengarai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) seolah bermain "dua kaki". Pandangan tersebut sangat tidak mendasar dan tidak mengenal partai PDIP secara komprehenshif.
Orang tersebut mencoba membangun narasi seolah PDIP bermain "dua kaki", dengan mengatakan tidak bakal mendepak anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming, dari keanggotaan partai setelah diusung menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto. Jika hal itu dilakukan oleh PDIP maka dinilai bisa menutup peluang partai itu masuk kembali ke lingkar kekuasaan, jika pasangan Prabowo-Gibran memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Orang yang membangun narasi tersebut tidak paham betul karakter politik PDIP selama ini. Secara ideologis, PDPP punya pendirian politik yang tegas, sebab partai ini lahir dan dibesarkan dari sebuah perjuangan kerja keras dengan tetesan air mata dan darah. Itu nyata.
Karena itu, dari aspek komunikasi politik motif narasi yang dikembangkan oleh orang tersebut bertujuan menggiring opini publik untuk kepentingan politik pragmatis. Katanya, jika Gibran tidak dipecat, PDIP seolah bermain "dua kaki". Tapi kalau Gibran dipecat, kelompok kekuatan politik akan mainkan politik "playing victim" sebagai orang yang dizolimi. Ini dapat disebut sebagai politik jebakan batman.
Sekarang ini Gibran sudah menjadi realitas politik sebagai bakal calon wakil presiden yang diusung sejumlah partai lain. Karena itu, sebaiknya secara satria Gibran yang justru mengajukan mundur diri partai awalnya.
PDIP sangat jelas garis politiknya. Partai ini lahir sebagai simbol perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru (Orba). Tidak satu partai pun di Indonesia yang setegas dan seberani PDIP. Sebaliknya, bahkan tidak jarang beberapa partai politik menunjukkan politik pragmatisnya.
Lihat saja Prabowo dengan Partai Gerindra-nya, pada Pilpres 2019 mengambil posisi kompetitor bagi Jokowi yang diusung PDIP. Pemilu 2019 PDIP menang di Pileg dan Pilpres yang membuat Jokowi menjadi presiden dua periode.
Prabowo pun turun posisi dari kompetitor yang setara dengan Jokowi pada Pilpres 2019, rela dan serta merta menjadi pembantu Jokowi di pemerintahan. Justru sikap dan perilaku politik semacam ini belum mempunyai garis yang tegas secara ideologis. Sejatinya, Prabowo dan Partai Gerindra berada di luar kekuasaan sebagai oposisi bagi pemerintahan Jokowi.
Sebab, peran oposisi sama mulianya dengan pemerintah bagi rakyat. Oposisi bisa melakukan kontrol terhadap kekuasaan. Tapi acapkali ada partai politik dan aktor politik tertentu masih lebih baik memilih "menghambakan" diri terhadap kekuasaan.
Sikap dan perilaku politik semacam ini dipastikan merusak tatanan demokrasi kita di negeri ini yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa terutama gerakan mahasiswa tahun 1998 dengan tangisan dan air mata. Bahkan masih ada aktivis belum kita ketahui di mana rimbanya.
PDIP bukanlah partai yang berdiri di atas politik pragmatis. Lihat masa pemerintahan SBY dua periode, PDIP mengambil garis posisi yang tegas di luar pemerintahan (opisisi). Karena itu, partai ini berani menjadi oposisi, dan mengabdi untuk rakyat ketika menjadi pemenang legislatif dan eksekutif, baik menempatkan kadernya sebagai kepala daerah dan presiden.
Salam.[] (Kamis, 26 Oktober 2023)